Senin, 01 Desember 2008

Pendidikan Murah Masih Menjadi Impian...

LAPORAN AKHIR TAHUN HUMANIORA
Diunduh dari Harian Kompas, Selasa, 2 Desember 2008
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/12/02/00171658/pendidikan.murah.masih.menjadi.impian...

Keputusan Mahkamah Konstitusi soal anggaran pendidikan 20 persen dari APBN sebenarnya bukan hal yang luar biasa. Negara lain banyak yang mengalokasikan anggarannya untuk pendidikan lebih besar daripada itu. Meski demikian, keputusan tersebut seolah-olah luar biasa dan kemudian dijadikan retorika politik untuk meraih citra dan simpati politik.

Padahal, jika dicermati, dalam anggaran pendidikan 20 persen tersebut, tidak seluruhnya untuk pendidikan. Entah salah persepsi pemerintah atau sengaja untuk menyiasati Undang-Undang Dasar 1945, dalam anggaran 20 persen tersebut sudah termasuk di dalamnya gaji pendidik.

Bukannya tidak mendukung upaya meningkatkan kesejahteraan pendidik, tetapi dimasukkannya komponen gaji, anggaran yang betul-betul untuk pendidikan akan terkurangi. Bahkan, bukan mustahil sebagian besar anggaran pendidikan yang jumlahnya sekitar Rp 207,1 triliun dalam RAPBN 2009 akan terpakai untuk gaji, biaya operasional, dan kegiatan administratif. Apalagi, jumlah pendidik, termasuk di dalamnya dosen dan tutor, tidaklah sedikit.

Di sisi lain, persoalan pendidikan yang harus dibenahi sangat banyak dan beragam serta membutuhkan dana yang sangat besar. Siswa yang putus sekolah untuk tingkat sekolah dasar, misalnya, masih sekitar 841.000 siswa dari sekitar 28,1 juta siswa SD/madrasah ibtidaiyah (MI). Sebagian besar karena faktor ekonomi keluarga.

Begitu pun untuk siswa SMP dan madrasah tsanawiyah (MTs) yang putus sekolah masih sekitar 211.643 siswa setiap tahun. Selain itu, tiap tahun sekitar 452.000 tamatan SD/MI tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Dari sisi sarana pendidikan, hingga saat ini masih ada sekitar 200.000 ruang kelas SD yang rusak dan 12.000 ruang kelas SMP yang rusak. Di tingkat SMP, sebanyak 34,3 persen sekolah belum mempunyai perpustakaan dan 38,2 persen tidak memiliki laboratorium.

Secara umum, jumlah buta aksara juga masih tinggi, yakni 10,1 juta orang, menurut klaim Depdiknas, dan sekitar 70 persen di antaranya perempuan. Jumlah buta aksara ini lebih dua kali lipat dari jumlah penduduk Singapura. Padahal, penuntasan buta aksara yang diklaim Depdiknas hanya sekitar 2,4 juta orang per tahun.

Beasiswa dan BOS

Memang untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan dasar, pemerintah mengucurkan dana yang lumayan besar. Untuk mengatasi siswa putus sekolah, misalnya, disediakan beasiswa bagi 690.000 siswa SD/MI yang besarnya Rp 360.000 setiap tahun.

Pemerintah juga mengucurkan biaya operasional sekolah yang jumlahnya dinaikkan. Jika tahun 2008 jumlah BOS untuk siswa SD/MI Rp 254.000 per siswa, tahun 2009 naik menjadi Rp 397.000 per siswa untuk siswa yang bersekolah di kabupaten serta Rp 400.000 untuk siswa yang bersekolah di kota. Adapun BOS SMP naik dari Rp 354.000 per siswa tiap tahun menjadi Rp 570.000 per siswa untuk yang sekolah di kabupaten serta Rp 575.000 per siswa untuk yang bersekolah di kota.

Meski demikian, jumlah ini tetap saja tidak mencukupi karena besarnya unit biaya pendidikan. Untuk tingkat SD, misalnya, unit cost atau besaran biaya rata-rata untuk siswa SD sekitar Rp 750.000 per siswa setiap tahun, sedangkan untuk siswa SMP sekitar Rp 1,5 juta per siswa setiap tahun.

Itu berarti memang masih sangat besar biaya yang harus ditanggung masyarakat untuk penyelenggaraan pendidikan dasar. Beban biaya lebih besar harus ditanggung masyarakat untuk mengenyam pendidikan menengah dan tinggi. Karena itu, tidak salah jika ada yang menyebut, pendidikan murah bagi masyarakat masih merupakan impian.

Hasil penelitian

Di bidang penelitian, banyak temuan atau inovasi yang dilakukan peneliti-peneliti Indonesia. Meski demikian, hasil-hasil penelitian tersebut kurang dipublikasikan sehingga tidak diketahui masyarakat, termasuk kalangan industri. Padahal, penelitian tersebut sebagian bisa diterapkan untuk memecahkan persoalan masyarakat. Hasil penelitian tersebut juga banyak yang bernilai komersial.

Di sisi lain, anggaran serta penghargaan untuk peneliti masih sangat minim. Itulah sebabnya Menteri Negara Riset dan Teknologi Kusmayanto Kadiman mengusulkan agar 8.000 peneliti yang tersebar di berbagai lembaga masing-masing mendapat biaya penelitian Rp 100 juta setahun. Anggaran yang dibutuhkan seluruhnya hanya sekitar Rp 800 miliar. Tak terlalu mahal jika dibandingkan dengan hasil penelitian yang diperoleh.

Sementara itu, di bidang lingkungan, sepanjang tahun 2008, nyaris tidak ada perubahan signifikan. Pembalakan liar terus berlangsung dan penegakan hukum di bidang lingkungan masih sangat lemah. Izin eksplorasi hutan juga terus dikeluarkan.

Di sisi lain, rehabilitasi lahan yang dicanangkan pemerintah lebih banyak bersifat seremonial dan mencari citra politik yang positif.

Luas lahan kritis di sepanjang daerah aliran sungai, misalnya, tercatat sekitar 77 juta hektar yang tersebar di berbagai wilayah Tanah Air. Jika sudah demikian, tinggal menunggu waktu saja beragam bencana akan datang. Masyarakat juga yang akan menjadi korban dan alam yang kemudian disalahkan. (THY)

[ Kembali ]

Senin, 08 September 2008

Cara Unik Menggugat Pendidikan

KOMPAS/HERU SRI KUMORO / Kompas Images
Siswa SMP Gratis Ibu Pertiwi melakukan voting atau pengambilan suara terbanyak saat mengikuti pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan di teras rumah Ade Pujiati, pendiri sekolah tersebut, di Jalan Pancoran Timur VIII, Jakarta Selatan, akhir Agustus lalu. Sekolah gratis banyak didirikan untuk menampung siswa yang tidak bisa masuk sekolah formal karena terbentur biaya.

Diunduh dari Harian KOMPAS, Senin, 8 September 2008

Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Begitu bunyi Pasal 31 Ayat 2 Amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Namun, hingga saat ini, amanat itu belum sepenuhnya terlaksana.

Ade Pujiati (41) adalah guru piano jebolan Fakultas Sastra Inggris Universitas Indonesia semester IV. Tahun 2005, Ade gelisah dan marah dengan pendidikan nasional. Itu gara-gara anak asuhnya, Intan yang duduk di bangku sekolah dasar, dibebani pungutan liar di sekolah untuk pelajaran tambahan. Karena tidak bersedia membayar, Intan diancam tidak lulus dan dicopot dari anggota Paskibraka.

”Saya nangis sampai berhari-hari, setelah itu saya bertekad mendirikan sekolah sendiri,” ujar Ade di rumahnya, Jalan Pancoran Timur VIII Nomor 48, Kompleks Perdatam, Jakarta Selatan, akhir Agustus lalu. Ade lalu mendirikan SMP Gratis Ibu Pertiwi di teras rumahnya.

SMP Gratis Ibu Pertiwi ditujukan bagi lulusan SD dari keluarga miskin yang tidak diterima di SMP negeri dan tidak mampu melanjutkan ke SMP swasta yang termurah sekali pun. Ade menilai, kalangan ini lekat dengan kebodohan dan kemiskinan sehingga harus dientaskan melalui pendidikan. Selama ini, golongan tersebut masih belum tertampung dalam sistem pendidikan nasional.

Guru yang direkrut berasal dari kalangan pendidik maupun praktisi. ”Guru direkrut dengan seleksi. Mereka harus rela bekerja tanpa mendapat bayaran. Oleh karena itu, hampir semuanya merupakan orang yang berpenghasilan cukup,” katanya.

Dalam menyelenggarakan pendidikan, Ade percaya pada konsep pendidikan komprehensif. Selain aspek akademis formal, pemahaman soal kepemimpinan, kewirausahaan, dan eksplorasi kreativitas mutlak diajarkan.

Materi yang diberikan tidak hanya pelajaran sekolah formal. Ade juga mengajarkan keterampilan membuat telur asin berkualitas. Para siswa dilibatkan dari proses pemilihan telur hingga pemasaran. Telur asin dijual Rp 3.000 per butir, dengan disertai jaminan. ”Kami memang menjual telur di atas harga pasar, namun kalau sampai ada yang busuk akan ditukar secara gratis. Jadi anak-anak dilatih bertanggung jawab terhadap produksi mereka,” kata Ade.

Dengan bekal keterampilan yang diperoleh di sekolah, Ade berharap anak didiknya dapat mandiri. Ia juga menyelenggarakan pelatihan teater untuk memupuk rasa percaya diri siswa.

Tidak sampai di situ, SMP Gratis Ibu Pertiwi juga memberikan bimbingan psikologi dan jaminan kesehatan kepada siswa. Bimbingan psikologi dilakukan untuk memulihkan mental anak-anak, yang sebagian besar pernah mengalami kekerasan dalam rumah tangga.

Berikan penyuluhan

Untuk mendukung keberhasilan pendidikan, Ade memberikan penyuluhan kepada orang- tua murid, setiap enam bulan sekali. Ia juga menerapkan aturan khusus bagi siswa yang orangtuanya merokok, untuk membayar iuran Rp 1.000 per hari.

Meskipun terkesan kejam, aturan itu ternyata membuahkan hasil. Tiga dari delapan orangtua siswa yang sebelumnya merokok, saat ini sudah menghentikan kebiasaan mereka.

Guru Bimbingan dan Konseling SMP Gratis Ibu Pertiwi, Teddy Pranatyo, menyebutkan, persoalan awal siswa di sekolah tersebut adalah rasa minder yang sangat besar.

”Karena itulah pendidikan menjadi muara persoalan, bukan soal pintar atau tidak pintar, namun lebih pada karakter,” kata Teddy yang sempat menjabat sebagai presiden direktur salah satu perusahaan kosmetik terkemuka di Indonesia.

Untuk menyelenggarakan sekolah, Ade membutuhkan biaya Rp 6 juta per bulan. Uang itu di antaranya digunakan untuk pengadaan alat tulis, biaya transportasi siswa yang rumahnya jauh, santunan orangtua siswa, makanan dan susu untuk siswa, serta biaya telepon dan internet. Biaya itu berasal dari uang pribadi serta donatur tidak tetap.

Banyak kalangan

Ade tidak sendirian. Beberapa orang yang peduli pada pendidikan juga mendirikan sekolah serupa. Dedi Rosaidi (48) mendirikan Yayasan Nurani Insani untuk anak-anak jalanan di Jalan Petamburan III Nomor 4, Jakarta Selatan.

Reinhard Hutabarat mendirikan Sekolah Anak Jalanan (SAJA) di bawah pintu Jembatan Tol Gedong Panjang, Kampung Kakap, Jakarta Utara, sejak 2001.

Begitu pula Sunarsih Wijaya (48) dari Ri’ayatul Ummah di Jakarta Barat membantu pendidikan anak miskin dengan membina Taman Pendidikan Al Quran, serta Vergina Veryastuti mendirikan Komunitas Kerja Sosial (KKS) Melati di Jalan Ampera II Nomor 17A, Jakarta Selatan. Jumlah siswa di tiap-tiap sekolah bervariasi, seperti di SMP Gratis Ibu Pertiwi ada 37 siswa, Yayasan Nurani Insani 224 siswa, dan di SAJA sekitar 80-an siswa.

Selain karena keprihatinan terhadap mahalnya biaya pendidikan, sebagian penggiat mendirikan sekolah gratis karena prihatin pada mutu pendidikan.

Hal itu seperti dilakukan Jakarta Butuh Revolusi Budaya (JBRB) di Meruya, Jakarta Barat, yang berdiri sejak 2007.

”JBRB melihat sistem pendidikan di Indonesia hanya fokus pada aspek pengetahuan saja dan menjadikan murid sebagai obyek pendidikan,” kata Mohamad Rusdi Indradewa (24), penggiat komunitas JBRB.

Rusdi mendirikan JBRB bersama rekannya, Tasa Nugraza Barley (24). Ia mengurus pergerakan peningkatan mutu pendidikan sesuai dengan konsep ideal tadi. Tasa yang lulusan MBA di Strayer University, Maryland, Amerika Serikat, menggarap modul dan menjalankan lobi internasional dengan menyelenggarakan kegiatan budaya di Kedutaan Besar Indonesia di Washington DC.

Modul pengajaran bernama Berburu (Berbudaya Itu Seru) mengharuskan peserta didik melakukan presentasi, diskusi terbuka, diskusi kelompok, dan mengerjakan proyek kelas.

Ada yang tutup

Meskipun dilandasi keinginan memajukan pendidikan, tidak semua gerakan tersebut mendapat dukungan. Supriadi (28), penggiat Forum Pemuda Kampung Baru (Fodaru) di Kampung Baru, Sukabumi Selatan, Kebon Jeruk, Jakarta Barat, hanya bisa mempertahankan gerakannya pada 2003-2005. Fodaru yang memberikan bimbingan belajar gratis kepada anak SD terpaksa tutup karena gedung SMP yang biasa digunakan untuk aktivitas tidak boleh digunakan lagi.

Munculnya sekolah nonformal sebagai bentuk ketidakpuasan masyarakat terhadap sistem pendidikan yang ada dibenarkan pengamat pendidikan dari Institute for Education Reforms Universitas Paramadina, Utomo Dananjaya.

Menurut dia, sekolah di Indonesia dibedakan menjadi sekolah negeri, sekolah swasta, dan sekolah saudagar atau sekolah yang didirikan oleh dan untuk kalangan tertentu.

”Celakanya, ada anak yang tidak bisa masuk ke tiga-tiganya sehingga tidak bisa sekolah. Oleh karena itu, ada yang mendirikan sekolah nonformal,” ujarnya.

Data dari Departemen Pendidikan Nasional yang diolah Litbang Kompas, jumlah siswa putus pendidikan dasar (SD dan SLTP) tahun pelajaran 2006/2007 sebanyak 848.245 orang.

Direktur Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional Suyanto mengatakan, berdirinya sekolah nonformal merupakan fenomena yang biasa dan tidak perlu ditanggapi secara berlebihan. Hal itu sebagai bentuk partisipasi masyarakat, bukan bentuk protes terhadap pemerintah. Sekolah serupa juga bermunculan di negara lain.

”Sekolah-sekolah nonformal tidak perlu diberi status karena didasari perbedaan cara pandang dengan pemerintah,” ujarnya.

Meskipun pemerintah menganggap berdirinya sekolah non- formal sekadar sebagai bentuk partisipasi, sebagian penggiat menganggap sebaliknya.

”Saya paling benci kalau pemerintah bilang pendidikan itu bukan hanya tanggung jawab pemerintah. Enggak bisa, (pendidikan) itu tanggung jawab pemerintah,” ujar Ade. Ia mengaku, mengelola sekolah itu tidak dengan tujuan membantu pemerintah, tetapi lebih sebagai upayanya untuk menyatakan konsep pendidikan komprehensif yang ideal. (INK/WIE/KUM)

[ Kembali ]

Sabtu, 06 September 2008

Rutinitas Pagi Muara Kali Koloi

KOMPAS/ICHWAN SUSANTO / Kompas Images
Anak-anak Kampung Makaling di Distrik Okaba Kabupaten Merauke, Provinsi Papua, kerap kali harus berjalan menyeberang Muara Sungai Koloi selebar 50 meter karena ketiadaan jembatan untuk menuju ke SMP Okaba.

Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 29 Agustus 2008

Di seberang Muara Kali Koloi Merauke, Paskaline Mosembo (14) berseru memanggil tukang perahu agar datang menjemput dia dan teman-temannya. ”Hoi, ko kemari ka. Kita su telat ni,” teriak Paskaline berulang-ulang. Namun, waktu beberapa berselang, tukang perahu tak kunjung menampakkan batang hidungnya.

Sementara itu, sinar tipis matahari pagi mulai mengintip dari rerimbunan daun kelapa di pinggir muara menerpa wajah anak-anak yang mulai gelisah ini. Tak sabar menanti dan takut terlambat tiba di sekolah, Carolus Ndiken (16), teman sekampung Paskaline, segera melepas sepatu.

Ia pun nekat turun ke muara yang tak begitu dalam karena masih musim kemarau. Sepatu dan kaus kaki digantung di pundak, celana seragam sekolah menengah pertama berwarna biru tua di tarik ke atas, dan remaja asal Kampung Makaling ini berjalan menyeberangi muara yang dalamnya hampir sepinggang. Beberapa saat kemudian, temannya menyusul sambil memanggul sepeda kayuh BMX.

Di ujung tanjung masih tampak belasan siswa lain yang berlari-lari menuju tepi muara untuk menyeberang. Siswa-siswi SMP Okaba ini berjejer di pinggir kali sambil berharap teman-temannya yang berhasil menyeberang itu mau berbaik hati menjemput mereka.

Rutinitas kecil ini hampir tiap pagi menjadi pemandangan di Muara Kali Koloy Distrik Okaba Kabupaten Merauke, Provinsi Papua. Seruan nyaring anak-anak di kampung sebelah yang meminta tukang perahu di Kampung Okaba menjemput telah menjadi alarm waktu yang menyadarkan warga setempat bahwa pagi telah menginjak pukul 07.00.

Sejak pukul 04.00 anak-anak Kampung Makaling bangun dari lelap beristirahat malam. Mereka bergegas berjalan kaki menyusuri pinggir pantai ke arah muara untuk mengikuti kegiatan belajar di Okaba, ibu kota distrik.

Sepulang sekolah, sekitar pukul 12.00, mereka kembali menjalani aktivitas rutin menyeberangi muara, kembali ke rumah. Sesampai di rumah mereka mulai membantu orangtua mengumpulkan kelapa untuk dibuat kopra. Ada juga siswa yang membantu orangtua masuk hutan berburu rusa atau kanguru yang biasa disebut ”saham”.

Jika masuk hutan, biasanya esok hari mereka tak dapat berangkat ke sekolah karena terlalu lelah atau bahkan belum kembali ke kampung. Mereka tak dapat berbuat sesuatu karena sebagian orangtua masih belum sadar arti penting pendidikan bagi anak-anaknya.

Menjual daging hasil buruan kepada warga pendatang yang membawa ke kota lebih menghasilkan ketimbang bersekolah. Demikian pemikiran sebagian orangtua, apalagi jarak dari rumah ke sekolah cukup jauh yang membuat pengawasan dari guru atau kepala sekolah sangat minim.

Transportasi

Dari Okaba ke Merauke kota ditempuh sekitar empat jam dengan memacu motor dan menyeberangi Sungai Bian menggunakan perahu motor tempel. Kondisi jalan relatif bagus meski di sana-sini banyak dijumpai aspal yang mengelupas, cekungan permukaan, dan jembatan rusak.

Jika musim hujan, pengendara bakal kesulitan melintas. Apalagi saat menuju Kali Bian, kondisi jalan masih berupa pasir pantai yang kadang berlumpur.

Topografi Merauke relatif sangat rata, tidak ada bukit-bukit dan gunung. Di setiap tempat hanya tampak dataran luas dengan alang-alang dan beberapa tanaman pandan-pandanan.

Di sepanjang jalan di Distrik Kurik terdapat ”bomi” atau rumah rayap yang berasal dari tanah yang disusun mengerucut di atas permukaan tanah. Rayap yang oleh suku asli setempat disebut ”mosamos” dapat membentuk rumah hingga setinggi 7 meter di atas permukaan tanah.

Sayangnya, kondisi pendidikan di Merauke tak mampu menjulang setinggi ”bomi” itu. Permasalahan kompleks seputar pendidikan warga di pedalaman menjadi beban kabupaten paling selatan di Tanah Papua ini.

Seperti anak-anak kampung Makaling yang harus berjalan berjam-jam dan menyeberangi muara untuk mencapai sekolah merupakan contoh kecil dari berbagai kendala yang dialami masyarakat Merauke.

Ketersediaan tenaga guru serta kemauan para pahlawan tanpa tanda jasa ini bertugas di pedalaman menjadi permasalahan tersendiri. Vincentius Mekiuw, Kepala Dinas Pendidikan Dasar, mengakui, ketersediaan sekolah tak mampu melayani hingga ke setiap kampung.

Untuk mendirikan sekolah harus dipertimbangkan jumlah siswa serta penyediaan guru dan tempat tinggalnya. Di Merauke terdapat 1.070 guru sekolah dasar yang tersebar di kota hingga pedalaman perbatasan dengan Papua Niugini. Mereka melayani 32.000 siswa di 108 SD negeri dan 89 SD swasta.

Di wilayah ini ada 26 sekolah menengah pertama negeri. Rasio murid terhadap sekolah sebesar 267, rasio murid terhadap ruang belajar sebesar 36, dan rasio murid terhadap guru mencapai 21. Selain SMP negeri juga terdapat 11 sekolah swasta. Rasio murid terhadap sekolah sebesar 212, rasio murid terhadap ruang belajar sebesar 34, dan rasio murid terhadap guru tercatat 29 orang siswa untuk satu orang guru.

Sebagian dari guru itu merupakan tenaga honorer yang digaji pemerintah setempat Rp 600.000-Rp 1 juta per bulan, tanpa tunjangan. Jumlah ini diakui sangat jauh dari cukup untuk menghidupi dan mengantarkan guru ke pedalaman.

Karena itu, tak heran tingkat kehadiran guru di pedalaman sangat rendah atau tak mencapai 60 persen. Di samping permasalahan ketiadaan sarana dan mahalnya biaya transportasi, guru juga dihadapkan pada ketiadaan tempat tinggal di kampung.

Permasalahan guru dan siswa yang kompleks ini membuat Vincentius sempat melarang 30 SD mengikuti ujian nasional. ”Untuk sekolah yang kegiatan belajar mengajarnya sangat buruk, saya tidak perbolehkan mengikuti ujian nasional. Sebab, saya tahu, nanti yang meluluskan guru-gurunya,” ujarnya.

Ia mengatakan, siswa akan tertatih-tatih saat melanjutkan ke tingkat lebih tinggi. ”Mata rantai ini harus diputuskan agar siswa dan guru giat dalam proses belajar mengajar,” sambung mantan guru yang telah mengabdi selama 28 tahun ini.

Ia juga mengungkapkan, pemerintah sempat menahan uang lauk-pauk guru. Langkah kedua itu diambil karena banyak kepala sekolah di pedalaman yang melaporkan absensi guru dengan sangat rapi dan rajin, tetapi kondisi di lapangan tidak seperti itu.

Permasalahan ini, menurut Vincentius, merupakan salah satu persoalan yang harus diselesaikan dalam otonomi khusus Papua. Sayangnya, alokasi anggaran untuk pendidikan tak mencapai 30 persen dari dana otonomi khusus.

Akankah siswa Merauke beberapa tahun mendatang masih berteriak-teriak untuk mencapai sekolahnya? Seperti Paskaline Mosembo yang berdiri tiap pagi di tepi Muara Kali Koloy. (Ichwan Susanto)

[ Kembali ]

Selasa, 02 September 2008

Anggaran Peningkatan Mutu Pendidikan

Diunduh dari Harian KOMPAS, Rabu, 3 September 2008.

Oleh
Baskoro Poedjinoegroho

Dalam pidato di depan anggota DPR, Presiden menetapkan anggaran pendidikan nasional sebesar 20 persen dari total APBN 2009.

Bila dirupiahkan, total anggaran untuk pendidikan pada APBN 2009 sebesar Rp 244,44 triliun, kenaikan yang amat mencolok dibanding anggaran 2008 sebesar Rp 154, 2 triliun. Insan pendidikan agaknya puas, karena putusan itu sejalan dengan amanat UU No 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. Perbaikan mutu pendidikan menjadi prioritas. Masalahnya, mungkinkah dengan dana sebesar itu kemajuan pendidikan bisa terwujud?

Memperbaiki mutu

Kebijakan penaikan anggaran pendidikan, tentu bukan tanpa alasan. Banyak alasan dapat dikemukakan, antara lain keinginan dan tuntutan dalam berbagai bentuk dari insan pendidikan entah penyelenggara, pelaku, ataupun pemerhati. Pantas disyukuri bahwa pemerintah menyambut keinginan insan pendidikan. Rasa syukur layak dikemukakan jika terjadi perjumpaan antara keinginan yang baik untuk memajukan pendidikan dan kemauan baik untuk mendukungnya. Maksudnya, keinginan dan kemauan baik yang tidak melulu demi besarnya jumlah dana atau uang, atau muatan politis lainnya. Bukankah uang senantiasa menggiurkan, apa.lagi sebesar anggaran pendidikan nasional 2009?

Memang, orang boleh berpendapat, anggaran itu masih lebih kecil dibanding anggaran negara tetangga, misalnya dengan basis produk domestik bruto (PDB) angka Indonesia adalah 1,9 persen, sementara Thailand 5,0 persen, Malaysia 5,2 persen, dan Vietnam 2,8 persen.

Bagaimanapun Rp 244,44 triliun adalah jumlah amat besar. Jumlah itu akan kian bermakna karena merupakan kebijakan politik atau jawaban tepat dan kini dibutuhkan. Apalagi, bangsa ini sedang mengalami kemunduran di segala bidang, terutama karena kemerosotan moral, yang harus diyakini akan dapat diimbangi dengan pendidikan bermutu.

Dalam pidato Presiden (15/8/2008) itu, anggaran 20 persen ditujukan untuk perbaikan sarana-prasarana (gedung sekolah) dan SDM (guru, dosen, beasiswa). Dengan demikian, diharapkan akan terjadi kemajuan mutu pendidikan. Dari sisi lain, ada yang menantang pelaku atau pengguna anggaran, yakni pembuktian sekaligus perwujudan pengembangan diri bahwa mereka adalah insan-insan yang melakukan kemajuan pendidikan melalui pemanfaatan dana sesuai maksud/tujuan pengadaan (intentio dantis). Meski juga harus disadari, tidak selalu mudah menanggapi atau melaksanakan apa yang sudah diketahui; acap kali apa yang diketahui tidak selalu dilaksanakan terlebih bila menyangkut soal dana atau uang.

Keadaan ini mengingatkan akan apa yang baru saja digumuli para pendidik, yaitu sertifikasi pendidik. Entah sudah mengerti ihwal makna sertifikasi atau belum, yang pasti, mereka yang lolos sertifikasi akan mendapat tambahan pendapatan. Inilah yang hidup di benak pengajar sertifikasi. Sertifikasi diperjuangkan mati-matian jika perlu dengan bertindak curang, tidak peduli bertentangan dengan prinsip pendidikan. Misalnya, memalsukan dokumen/portofolio demi lengkapnya persyaratan.

Di antara pengejar sertifikasi belum pernah terdengar, sertifikasi diburu sebagai bukti bahwa seorang pendidik telah dan selalu mengejar kompetensi atau profesionalitas dalam mendidik. Yang lazim adalah sertifikasi diperjuangkan demi bertambahnya pendapatan atau uang. Bila demikian, mutu pendidikan akan biasa-biasa saja meski pendapatannya bertambah.

Bukan milik pribadi

Banyak orang amat rentan dengan uang, tak bijaksana dalam mengelola uang. Apa saja yang terkait uang senantiasa membuat mabuk, kehilangan kesadaran diri, kehilangan akal sehat, kehilangan ketajaman nurani. Banyak bukti mudah ditemukan saat ini. Setiap hari media tak pernah absen memberitakan kejahatan yang terkait uang.

Karena itu, penetapan anggaran pendidikan 20 persen harus dijadikan momentum bagi para insan pendidikan untuk membuktikan diri, mereka adalah pribadi-pribadi yang berharkat luhur yang amat bernilai lebih daripada nilai nominal uang. Caranya, dengan memperlakukan anggaran atau dana pendidikan sebagai bukan milik pribadi. Inilah sikap dasar yang harus dimiliki oleh siapa pun sebelum melibatkan diri dalam penggunaan anggaran atas nama perbaikan mutu. Bila tidak, perbaikan mutu pendidikan tak akan terjadi, bahkan akan semakin merosot.

Baskoro Poedjinoegroho Direktur SMA Kanisius Jakarta

[ Kembali ]

Konsep Dulu, Baru Uang

Diunduh dari Harian KOMPAS, Rabu, 3 September 2008.

Oleh
Daoed JOESOEF

Salah satu ucapan Presiden yang disambut hangat di dalam dan di luar DPR adalah keputusan mewujudkan anggaran 20 persen APBN untuk pendidikan.

Sambutan ini berdasarkan asumsi, kekurangan dana menjadi faktor utama impotensi pendidikan nasional selama ini.

Benarkah? Sepertinya tidak. Asumsi itu keliru. Kalaupun tambahan anggaran itu diwujudkan secara efisien, efektif, dan mencapai sasaran, hal itu justru mengukuhkan penyakit yang membuat pendidikan tak berdaya melaksanakan misinya. Sistem pendidikan kita mandek, bahkan amburadul, bukan (hanya) karena kekurangan dana, tetapi lebih dari itu, terkait ketiadaan konsep idiil yang mendasari.

Tidak ada sistem apa pun yang tepat sebagaimana adanya (in itself). Ia tepat, maka itu dinilai baik, ditinjau dari konteks tujuan perumusannya, untuk apa ia diadakan. Dengan predikat ”nasional”, fungsi pendidikan jelas berdimensi nasional (kepentingan negara-bangsa) selain individual (hak warga negara perseorangan). Berarti, kejelasan citra dari komunitas nasional yang diidam-idamkan harus ada lebih dulu. Dan, citra ini merupakan keputusan nasional yang disepakati oleh semua negarawan, politikus, dan cendekiawan bangsa.

Namun, justru citra ideal itu yang tidak ada, belum pernah ada. Padahal, bahan-bahan untuk perumusan tersebar dalam ucapan, tulisan para pendiri negara-bangsa—adakalanya begitu eksplisit, dan kandungan-kandungan pasal/ayat UUD.

Jadi, jangan disalahkan jika para profesional di Depdiknas bekerja seadanya, pragmatis/reaktif, mengesankan amburadul, ganti menteri ganti kurikulum. Keamburadulan kian parah karena tidak ada konsep nasional yang integralistik, disuntikkan aneka otonomi ke dalam proses pendidikan, mulai otonomi daerah yang berlapis—provinsi, kabupaten, kota—hingga otonomi sekolah yang atomistis.

Kini departemen diberi dana kerja amat besar, padahal tidak ada program aksi relevan yang disiapkan sebelumnya.

Mengingat negara-bangsa tidak ”memberi” kriteria tentang apa yang harus dilakukan oleh pendidikan nasional, sebagai lembaga formal tertinggi dalam memasok suatu kualitas pendidikan, wajar Depdiknas menyiapkan konsep pendidikan demi pendidikan itu sendiri. La noblesse oblige! Jangan membiarkan pemerintah terus memperlakukan pendidikan hanya sebagai urusan marjinal dalam seluruh urusan politik yang ditangani.

Tiga keharusan

Paling sedikit ada tiga keharusan yang membenarkan departemen bertindak demikian, yaitu yang bersifat konstitusional, moral, sosial dan ekonomis.

Dalam Pembukaan UUD 1945 tertera, dengan menyatakan kemerdekaannya, rakyat Indonesia bertekad, antara lain, ”mencerdaskan kehidupan bangsa”. Para pendiri Republik menyadari betapa kehidupan bangsa perlu dicerdaskan mengingat unsur-unsur konstitutifnya tidak homogen. Maka, kecerdasan merupakan satu keharusan demi pemahaman genuine sebagai dasar kesatuan dan persatuan di tengah kemajemukan alami. Persatuan dalam arti menerima adanya aneka perbedaan dengan ikhlas, penuh toleransi (integrasi). Kesatuan dalam arti menyatukan dan menegakkan kesamaan (unifikasi).

Mencerdaskan kehidupan bangsa dilakukan melalui pendidikan sebab kecerdasan tidak genetically fixed, tetapi dapat diajarkan. Berhubung anak didik adalah warga bangsa, melalui kecerdasannya karakter bangsa dibantu membaik menjadi terpuji. Jadi, mendidik anak bangsa tidak hanya merupakan keharusan konstitusional, tetapi juga moral.

Pendidikan untuk semua anak perlu dipertegas dengan keharusan sosial, yaitu memberi pendidikan yang sama kepada anak perempuan dan laki-laki. Kesamaan ini merupakan keharusan mengingat jenis kolektivitas yang dikehendaki adalah kehidupan berbangsa di mana ada keadilan jender dan political independence bagi perempuan, yang berarti punya hak suara, hak memilih dan dipilih untuk memegang jabatan politis dan jabatan teknis apa saja yang dia mampui secara fisik dan mental.

Ketiga keharusan itu perlu digenapi keharusan ekonomis, yaitu pendidikan untuk semua harus diartikan sebagai pendidikan yang menjangkau anak miskin dan cacat, tidak terbatas anak kaya dan sempurna. Kehidupan bangsa baru dapat dikatakan cerdas bila tiap warganya yang berlatar belakang apa pun dapat naik dari tempat kelahiran terendah ke tingkat pencapaian tertinggi berkat pendidikan. Lagi pula bangsa yang berhasil pada masa depan adalah yang tidak hanya membukakan pintu bagi sebagian talenta dari sebagian anak-anaknya, tetapi mengembangkan semua talenta dari semua anaknya.

Dalam menyusun konsep pendidikan, Depdiknas seharusnya berprinsip bahwa misinya berurusan dengan nilai, tidak hanya transmisi pengetahuan dan keterampilan antargenerasi, tetapi membudayakan manusia karena sistem nilai yang dihayati adalah budaya. Pembudayaan nilai-nilai asing oleh sistem pendidikan biasa terjadi di banyak bangsa. Melalui penghayatannya, dengan sadar melakukan aneka perubahan guna mewujudkan jenis masyarakat nasional yang mereka idealkan.

Oleh karena itu, secara esensial pendidikan adalah proses yang membiasakan manusia sedini mungkin mempelajari, memahami, menguasai, dan menerapkan nilai-nilai yang disepakati bersama sebagai berguna bagi individu, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negaranya. Bagi kita, juga ada nilai-nilai asing yang harus bisa dihayati sebagai budaya alami melalui pendidikan demi kemajuan individual dan kolektif. Salah satu yang amat penting dan menentukan adalah ”semangat ilmiah”, yaitu ilmu pengetahuan dalam arti proses, yang mengembangkan ”pengetahuan” menjadi ”pengetahuan ilmiah” dan tentu saja disiplin yang sudah jadi (ilmu pengetahuan dalam arti produk).

Semangat ilmiah diperlukan untuk semakin menyempurnakan pembawaan human kita. Ia membantu menciptakan pengetahuan ekstra genetik agar terbebas dari ketergantungan pada pengetahuan genetik semata. Ia juga berguna dalam pembentukan pengetahuan ekstra somatik, yaitu informasi yang disimpan di luar tubuh, di tempat khusus—perpustakaan, laboratorium, museum, dan lain-lain.

Integritas departemen

Semangat ilmiah dan ilmu pengetahuan yang dihasilkan juga dapat menyempurnakan hidup kemakhlukan kita. Kita hidup di antara dua infinitas alami yang keberadaannya amat menentukan kondisi kehidupan makhluk di bumi, baik dalam arti positif maupun negatif. Di satu pihak ada yang besar tak terhingga, yaitu galaksi di angkasa luar, nebula bercahaya warna-warni dari Bimasakti, planet-planet dari sistem solar. Di lain pihak, ada yang kecil tak terhingga, seperti sel hidup, jaringan neuron, DNA, subatomic particles. Akses ke potensi natural yang dikandung kedua infinitas itu terbukti dimungkinkan oleh ilmu pengetahuan.

Jadi, sistem pendidikan yang kita kembangkan demi mencerdaskan bangsa adalah bagian dari kebudayaan. Maka, sungguh aneh jika urusan kebudayaan tidak dikembalikan ke jajaran departemen yang mengurus pendidikan. Lebih aneh lagi jika Depdiknas membiarkannya tetap begitu. Mana integritas intelektual departemen ini? Cakupan kebudayaan jauh lebih luas dari sekadar kesenian selaku pemancing dollar turis asing! Nilai-nilai perlu diolah oleh kecerdasan melalui penemuan dan kombinasi baru demi pembentukan peradaban baru yang sejalan tuntutan abad XXI dan selanjutnya.

Bila konsep pendidikan nasional yang menyeluruh dan terpadu telah selesai, berikan kepada politik agar diterima. Politik harus memutuskan konsep yang ia sendiri tidak mampu merumuskannya. Dengan cara begini alih-alih politik mengorupsi pendidikan, the intellectual integrity of education needs to contribute to the decorruption of politics. Bagaimanapun ada politik dalam pendidikan, sebagaimana ada pendidikan dalam politik.

Daoed JOESOEF Alumnus Université Pluridisciplinaires Panthéon-Sorbonne

[ Kembali ]

Sabtu, 23 Agustus 2008

Dilema Penganggur Terdidik

TAJUK RENCANA
Diunduh dari Harian KOMPAS, Sabtu, 23 Agustus 2008

Sebanyak 4,5 juta atau separuh lebih penganggur terbuka di Indonesia adalah penganggur terdidik. Demikian isi headline surat kabar ini, Jumat kemarin.

Fenomena pengangguran terdidik sebenarnya bukan baru-baru ini saja terjadi. Karakteristik sektor ketenagakerjaan kita selama ini ditandai oleh tingginya angka pengangguran (jauh di atas rata-rata negara lain), tingginya proporsi penganggur muda (15-24 tahun) dan terus meningkatnya proporsi penganggur terdidik.

Yang memprihatinkan, selain besarannya itu sendiri (50,3 persen dari total penganggur), proporsi penganggur terdidik terus meningkat dramatis, dari 17 persen (1994) menjadi 26 persen (2004) dan kini 50,3 persen.

Di satu sisi, ini mencerminkan membaiknya tingkat pendidikan penduduk usia kerja di Indonesia (kemungkinan sebagai akibat suksesnya program wajib belajar).

Namun, di sisi lain, tingginya penganggur intelektual menunjukkan ada sesuatu yang salah. Kondisi ini juga berpotensi memunculkan keresahan sosial jika tak ditangani dengan baik. Selain rendahnya kemampuan perekonomian menyediakan lapangan kerja dan kakunya pasar kerja, tingginya penganggur terdidik juga menunjukkan ada kegagalan dalam sistem pendidikan kita dalam mencetak tenaga kerja yang siap kerja.

Terjadi ketidaksinkronan antara SDM yang dihasilkan dan kebutuhan industri atau sektor-sektor dalam ekonomi. Mismatch ini terjadi karena selama ini keduanya jalan sendiri-sendiri. Di antara institusi pendidikan sendiri tak ada standar kompetensi yang jelas.

Kegagalan pendidikan juga bisa dilihat dari lemahnya kemampuan mencetak wirausaha. Dari sekitar 350.000 sarjana yang dihasilkan oleh perguruan tinggi di seluruh Indonesia setiap tahunnya, hanya sekitar 5 persen yang mampu menciptakan lapangan kerja sendiri.

Kurikulum pendidikan nasional, kultur budaya kita, dan kebijakan pemerintah tak mendorong tumbuh suburnya jiwa entrepreneurship. Padahal, di sini kunci kemajuan suatu bangsa. Salah satu penyebab ketertinggalan kita dari negara-negara tetangga antara lain karena rendahnya entrepreneurship ini.

Kita memahami, pemerintah dihadapkan pada dilema. Kendati sebagian besar penganggur adalah terdidik, mayoritas tenaga kerja tetap saja berpendidikan rendah. Dominannya tenaga tidak terampil di negara surplus tenaga kerja seperti kita menuntut pengembangan industri ke arah padat karya.

Di sisi lain, tenaga kerja terdidik umumnya hanya mau bekerja di kantor atau sektor modern di perkotaan, sementara daya serap sektor ini rendah, atau kecakapan pekerja terdidik sering tak sesuai dengan yang dibutuhkan.

Tantangan ke depan adalah bagaimana mengakomodasi dua kepentingan (pekerja terdidik dan tak terdidik), dan menyinkronkan pendidikan dengan kebutuhan industri. Tak mungkin dibebankan pada pemerintah saja. Peran perguruan tinggi dan swasta sangat penting di sini. Perlu kebijakan yang integral, tidak sepotong-sepotong.


[ Kembali ]

Perbaiki Sistem Pendidikan Nasional

Ketenagakerjaan
Diunduh dari Harian KOMPAS, Sabtu, 23 Agustus 2008.

Jakarta, Kompas - Pemerintah harus secepatnya mengubah sistem pendidikan nasional ke sistem yang lebih mengutamakan kompetensi dan keahlian peserta didik. Sistem yang berjalan sekarang dinilai berkontribusi besar terhadap tingginya tingkat pengangguran terbuka, yang separuhnya minimal lulusan sekolah menengah atas.

Sistem pendidikan selama ini cenderung berorientasi menghasilkan lulusan yang memiliki nilai akademis sesuai norma yang ditetapkan. Bakat dan minat peserta didik terhadap sesuatu hal kurang mendapat perhatian.

Wakil Ketua Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) Sumarna F Abdurrahman di Jakarta, Jumat (22/8), mengatakan, sistem pendidikan berbasis kompetensi yang sudah mulai berjalan saat ini belum optimal. Pemerintah masih lebih mengedepankan prestasi akademis dari sisi lembaga pendidikan, belum dari sisi penyerapan pasar kerja.

”Modul pendidikan yang dipakai saat ini masih banyak yang belum sesuai dengan kebutuhan pasar kerja. Seharusnya, standar kompetensi pendidikan dibangun berdasarkan kebutuhan pasar kerja,” kata Sumarna.

Sebanyak 5.660.036 orang termasuk dalam kelompok pengangguran terbuka berusia 15-24 tahun. Walau secara umum tingkat pengangguran terbuka nasional turun, tingkat pengangguran terdidik terus meningkat.

Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia Djimanto mengungkapkan, saat menguji 100 lulusan SMA mengikuti pelatihan perbengkelan, hanya 10 anak yang layak dilatih. Selebihnya tidak lolos. ”Seharusnya program pendidikan formal difokuskan pada jalur kejuruan, mulai sekolah menengah kejuruan sampai tingkat diploma kejuruan,” ujarnya.

Presiden Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) Rekson Silaban mengatakan, semua pihak harus mewaspadai peningkatan jumlah penganggur terdidik. Sebagai orang yang memiliki kemampuan intelektual tinggi, tingginya penganggur terdidik bisa memicu persoalan sosial yang sangat besar.

Tekan angka pengangguran

Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas Fasli Jalal mengungkapkan, untuk menekan angka pengangguran, Depdiknas mengembangkan dan merevitalisasi pendidikan politeknik. Kemampuan lulusan berwirausaha juga semakin diperhatikan semenjak belajar di politeknik.

Menurut Fasli, pihaknya tengah bekerja sama dengan 14 kabupaten/kota dan satu provinsi untuk mengembangkan politeknik, di mana pemerintah daerah itu sudah mengembangkan analisis kebutuhan dan pihak industri sepakat bahwa dibutuhkan lulusan di bidang-bidang tertentu. Sudah ada gambaran mengenai daya serap lulusan politeknik tersebut. (ham/ine)

[ Kembali ]


Kamis, 21 Agustus 2008

Ambruknya PTS Kita

Diunduh dari Harian KOMPAS, Kamis, 21 Agustus 2008.

Agus Suwignyo

Di tengah gencarnya ikhtiar menjawab tantangan global, banyak perguruan tinggi swasta di Indonesia yang nyaris ambruk.

Berita Kompas dua pekan lalu menyebutkan, hanya 50 persen dari 2.756 PTS di Indonesia saat ini yang dinyatakan ”sehat” dalam hal jumlah mahasiswa, rasio dosen- mahasiswa, dan ketersediaan fasilitas. Di Jawa Tengah 174 dari 323 PTS terancam ditutup karena kurang diminati mahasiswa. Di Yogyakarta jumlah mahasiswa baru PTS cenderung turun. Situasi ini sangat memprihatinkan!

Ambruknya sejumlah PTS merupakan efek privatisasi dan deregulasi pendidikan. Di sisi lain, kondisi ini mencerminkan mutu manajemen pendidikan tinggi kita, khususnya PTS, amat buruk.

Seberapa siap PT(S) di Indonesia menghadapi persaingan yang semakin terbuka? Pantaskah pemerintah berdiam diri menyaksikan ratusan PTS sekarat?

Melalui pergeseran skema pembiayaan, pemerintah mengurangi subsidi. Inilah yang membuat perguruan tinggi negeri (PTN) harus mencari biaya sendiri. Bersamaan dengan itu, syarat pendirian program relatif tidak diperketat. Tak peduli sudah berapa jumlah suatu program studi pada PTS di sebuah wilayah, PTN ”bebas” mendirikan program yang sama dan menentukan benchmark akuntabilitasnya masing-masing.

Di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Semarang, dan Malang, universitas bekas IKIP membuka berbagai program studi yang sudah dimiliki universitas di kota-kota tersebut dan nyaris tanpa perbedaan kekhasan program. Sementara itu, universitas-universitas badan hukum milik negara (BHMN) memperluas seleksi mahasiswa melalui aneka jenjang pendidikan.

Akibatnya, peluang PTS memperoleh mahasiswa susut karena pasar calon mahasiswa relatif tetap. Namun, di berbagai jenjang jumlah program studi yang sama semakin besar. Dalam konteks ini, PTS yang (nyaris) ambruk adalah korban langsung deregulasi dan persaingan memperebutkan calon mahasiswa.

Karena itu, pemerintah harus segera mengendalikan ”ekspansi” PT BHMN dan universitas-universitas bekas IKIP. Selain itu, pemerintah sebaiknya mengambil alih PTS yang sekarat! Diperlukan terobosan kebijakan untuk merevitalisasi PTS, misalnya melalui program bantuan likuidasi PTS.

Revitalisasi PTS perlu diintegrasikan dengan rencana restrukturisasi SMA dan SMK. Di banyak negara maju, jumlah universitas dibatasi dan seleksi mahasiswa diatur berdasarkan jenis sekolah menengah.

Jika di Indonesia lulusan SMK hanya dapat melanjutkan studi ke akademi ataupun politeknik, maka nasib lembaga-lembaga perguruan tinggi vokasional tersebut akan terselamatkan. Selain itu, mutu kevokasionalan lulusan dipastikan meningkat karena kesinambungan pendidikan kejuruan tingkat menengah dan perguruan tinggi.

Pada sisi lain, jika universitas hanya menerima lulusan SMA dan tidak menyelenggarakan pendidikan vokasional, peluang mengembangkan riset bermutu di universitas semakin besar.

Rangkaian panjang

Di luar itu harus disadari bahwa privatisasi yang kita saksikan saat ini merupakan rangkaian panjang desakan global dan tuntutan negara berkembang pascakolonial.

Berawal dari kesadaran pentingnya memperkuat semangat kebangsaan, pengelolaan perguruan tinggi dirasakan perlu dilakukan secara mandiri dan berdaya saing. Maka, belum satu dekade Proklamasi Kemerdekaan, gagasan privatisasi telah dibabarkan melalui sebuah RUU Badan Hukum Pendidikan (BHP) 1953. Selama puluhan tahun berikutnya, gagasan pembentukan BHP raib akibat kuatnya politik ideologi penguasa.

Namun, tahun 1990-an karena skema pinjaman lembaga-lembaga donor, pemerintah meratifikasi The General Agreements on Trade in Services (GATS) tentang layanan pendidikan. Dengan itu, pemerintah menghidupkan kembali gagasan privatisasi.

Tahun 2000 privatisasi ”diujicobakan” melalui pemberian status BHMN kepada empat PTN, yang disusul dengan PTN lain. Dalam rentang 1990-2000-an pula IKIP ramai-ramai diubah menjadi universitas.

Tidak jelas apakah pemerintah sempat memikirkan dampak kebijakan-kebijakan tersebut bagi PTS. Yang jelas, privatisasi justru akan dimasifkan melalui UU BHP yang rancangannya sedang diolah DPR.

Jika UU BHP diberlakukan, PTS dipastikan mengalami guncangan lebih dahsyat daripada sekarang. Kendati demikian, upaya membendung gelombang pasar bebas pendidikan merupakan utopia karena ketergantungan pada GATS-WTO dan tahap-tahap privatisasi yang telah dilalui dunia pendidikan Indonesia.

Selain privatisasi, ada dua penyebab ambruknya PTS kita. Pertama, krisis ekonomi berkepanjangan melemahkan daya beli masyarakat atas layanan perguruan tinggi dan daya tahan finansial yayasan- yayasan penyelenggara PTS.

Kedua, sikap latah pengelola PTS. Misalnya, setelah wabah ”universitas riset”, akhir-akhir ini sejumlah pengelola PT(S) mencanangkan institusinya menjadi universitas kepengusahaan. Namun, apa maksudnya dan mengapa memilih visi tersebut tidak dikaji mendalam.

Agus Suwignyo Pedagog FIB UGM, Menulis Pendidikan Tinggi dan Goncangan Perubahan (2008), Sedang Meneliti Sejarah Pendidikan Guru

[ Kembali ]

Kamis, 14 Agustus 2008

Arah Pengembangan SDM

TAJUK RENCANA
Diunduh dari Harian KOMPAS, Sabtu, 17 Mei 2008.

Ketika reformasi masih sebatas talking democracy dan bubble democracy, unjuk rasa rencana kenaikan harga BBM merupakan antiklimaks 10 tahun reformasi.

Ketika reformasi politik mengalami degradasi dengan hiruk-pikuk menjelang Pemilu 2009 dan pilkada-pilkada, pada saat yang sama terjadi degradasi kualitas kehidupan masyarakat.

Reformasi 10 tahun jalan di tempat. Dari sisi politik-ekonomi dan sosial tidak ada transformasi. Dari sisi peningkatan kualitas hidup, reformasi kehilangan makna. Hak asasi manusia yang seharusnya tidak diredusir pada hak-hak politik, tetapi tercukupinya kebutuhan hidup, mengalami kemunduran. Antiklimaks!

Ukuran kemiskinan yang didasarkan atas kalori asupan menurut Prof Sayogyo memperoleh pembenaran. Tingkat konsumsi per kapita rakyat Indonesia untuk daging, misalnya, 7,1 kg/kapita/tahun, sementara Malaysia 46,8 kg dan Filipina 24,96 kg. Ketersediaan pangan seperti beras yang diberitakan sudah surplus perlu ditelisik betul aspek pemerataan dan akurasi datanya. Indonesia bukan hanya Pulau Jawa.

Anak-anak yang lahir 10 tahun lalu—kini duduk di kelas III atau IV sekolah dasar—yang sehari-hari disuap dengan tontonan televisi dan ancaman atap sekolah runtuh, sebenarnya representasi dari generasi masa depan. Mereka terbentuk oleh ingar-bingar perpolitikan, eforia demokrasi bablasan, sebaliknya pemerintah senantiasa mati langkah seolah-olah kuldesak.

Sumber daya manusia—diintroduksi dari istilah manajemen untuk makna manusia—telanjur disempitkan dalam konteks ekonomi.

Kalau praksis pendidikan berjalan sesuai prinsip ”pemerdekaan” menurut Ki Hadjar Dewatara atau ”pemanusiaan” menurut Drijarkara, konsep SDM justru mempertajam praksis pendidikan. Akan tetapi ketika SDM dijadikan ukuran tunggal keberhasilan, ditakar lewat ujian nasional misalnya, makna luhur pendidikan tereduksi.

Indonesia mengingkari jati diri sebagai negara agraris, kata Prof Sediono Tjondronegoro. Serba tanggung! Negara agraris menjadi pengimpor produk pertanian. Krisis pangan di ambang mata, sementara sebagian warga lain hidup berkelimpahan.

Praksis pengembangan SDM, termasuk pula praksis pendidikan—bidang yang selalu jadi pusat perhatian dan pengunci segala keterbelakangan—perlu direformasi. Praksis pendidikan harus dibebaskan dari kepentingan politik praktis, dari tujuan jangka pendek, dari ingar-bingar demokrasi versi reformasi Indonesia.

Politisasi pendidikan perlu diarahkan pada kebijakan yang membebaskan, yakni pemerdekaan dan pemanusiaan dalam arti tidak demi kepentingan politik tertentu sehingga lebih terbuka.

Ranah inilah yang relatif paling mudah ditinjau ulang, apalagi strategis untuk kepentingan tidak hanya sekarang, tetapi terutama nanti.


[Kembali]


Senin, 04 Agustus 2008

Pendidikan dan Pemerdekaan

100 Tahun Kebangkitan Nasional
Oleh Tonny D Widiastono
Dikutip dari Harian KOMPAS, Senin, 4 Agustus 2008, halaman 01.

Ketika mendirikan Taman Siswa pada 3 Juli 1922, Ki Hadjar Dewantara sesungguhnya hanya ingin menumbuhkan kesadaran bahwa bangsa ini memiliki martabat dan harapan untuk menjadi manusia merdeka. Hasilnya, kesadaran sebagai bangsa yang bermartabat dan berkeinginan untuk merdeka pun tumbuh.
Ki Hadjar meyakini, penyadaran melalui lembaga pendidikan adalah usaha yang manjur.
Upaya itu pula yang digaungkan kembali oleh Paulo Freire, pendidik multikultural melalui karyanya Pendidikan sebagai Praktek Pembebasan, tahun 1984. Meski sudah diawali oleh Ki Hadjar Dewantara 86 tahun lalu dan digaungkan kembali oleh Freire lebih dari 25 tahun lalu, ternyata upaya penyadaran dan pemerdekaan melalui pendidikan justru kian jauh dari kenyataan.
Berbagai masalah yang melingkupi dunia pendidikan kita, alih-alih bisa memerdekakan peserta didik, yang terjadi justru membelenggu atau memenjarakan siswa. Selama pendidikan yang seharusnya bermakna luas itu hanya dipahami sebagai proses formal, sekadar proses alih pengetahuan, selama itu pula berbagai hal yang seharusnya menjadi penyadaran akan terus terganggu pelaksanaannya.
Masalah sertifikasi guru, keinginan membalik rasio pendidikan kejuruan dan SMA, dan masalah buku yang bisa diunduh dari internet hanya sekadar contoh dari berbagai persoalan pendidikan Indonesia yang memang membelenggu. Belum lagi biaya pendidikan yang terasa kian mahal dan hampir tak terjangkau rakyat miskin. Pada jenjang pendidikan tinggi, sejumlah perguruan tinggi negeri berubah menjadi badan hukum milik negara. Perubahan ini mendorong lembaga-lembaga pendidikan, yang seharusnya melahirkan manusia-manusia terpelajar, justru terbelenggu dengan upaya mencari uang sekaligus menjauhkan diri dari masyarakat yang seharusnya dilayani. Maka, impian untuk mendapatkan pendidikan yang murah dan baik untuk sementara dipendam dulu.
Tidak hanya itu. Yang menyedihkan, cara mendidik dengan memberikan berbagai macam informasi membuat peserta didik tak lebih dari kantong besar yang harus diisi penuh, tak peduli apakah itu berguna atau tidak. Dalam istilah Freire, itulah ”pendidikan berkonsep menabung”. Peserta didik tak pernah diajak berpikir kritis, tak didorong untuk memecahkan masalah, dan tak dilatih untuk berani mengungkapkan pendapat secara wajar.
Harapan masyarakat
Meskipun belum menjalankan tugas dan fungsi sebagaimana mestinya, masyarakat tetap menaruh harapan besar terhadap lembaga pendidikan. Banyak orangtua berpendapat, anak- anak harus bersekolah agar nasib mereka menjadi lebih baik daripada yang dialami orangtua mereka. Pendidikan lalu diyakini sebagai lembaga yang diharapkan mampu mengubah nasib.
Oleh karena itu, tidak mengherankan bila banyak orangtua berupaya menyekolahkan anaknya setinggi mungkin. Apa pun yang dimiliki dipertaruhkan agar anak-anaknya bisa bersekolah. Banyak petani di pedesaan harus membanting tulang agar bisa menyekolahkan anaknya. Bahkan, dulu sering terjadi, petani terpaksa menggadaikan sawah gantungan hidup keluarga agar anak-anaknya bisa bersekolah. Tak hanya itu, di kawasan Bantul (Daerah Istimewa Yogyakarta) dulu pernah terjadi, petani terpaksa membawa sapi atau kerbaunya ke sekolah. Selama ”sekolah”, sapi atau kerbau itu istirahat dari tugas membajak sawah.
Di perkotaan, pegadaian merupakan dewa penolong. Untuk sementara, pegadaian menjadi ”sekolah” bagi sertifikat rumah, perhiasan, motor, mobil, atau apa pun yang dimiliki keluarga agar anak-anak benar-benar bisa bersekolah. Pendidikan benar- benar dianggap sebagai tempat yang aman untuk memperbaiki nasib dan membangun masa depan. Namun, benarkah pendidikan memberikan apa yang diharapkan masyarakat?
Kita semua paham, harapan tinggal harapan. Kenyataannya, pendidikan belum mampu memenuhi harapan masyarakat, bahkan untuk hal-hal yang paling dasar sekalipun, seperti rasa aman. Kita sering mendengar, anak-anak justru mengalami kekerasan ketika berada di sekolah. Komisi Nasional Perlindungan Anak mencatat, selama tahun 2007 kekerasan terhadap anak meningkat 300 persen dari tahun sebelumnya, dari 4.398.625 kasus menjadi 13.447.921 kasus tahun 2008 (”Sekolah Bukan Tempat Aman bagi Anak”, Kompas, 23/7/2008).
Melihat kenyataan ini, kian sulit untuk mengatakan bahwa pendidikan telah melakukan tugasnya sebagai wahana penyadaran diri sekaligus tempat membangun masa depan yang aman.

Pendidikan dan masifikasi
Paulo Freire menyatakan, pembangunan ekonomi merupakan hal esensial guna menunjang demokrasi. Pembangunan sendiri harus bersifat otonom dan nasional. Para pendidik diharapkan ikut berpartisipasi dan andil dalam melahirkan pendidikan kritis. Dari pendidikan kritis ini diharapkan mampu membantu terbentuknya sikap-sikap kritis. Dari hal inilah diharapkan lahir manusia yang mampu mengembangkan kemampuannya untuk melihat aneka tantangan dari zamannya.
Oleh karena itu, situasi menuntut agar pendidikan mampu melahirkan manusia yang berani membicarakan berbagai masalah lingkungan ikut menangani lingkungannya.
Pendidikan juga diharapkan mampu mengingatkan manusia dari bahaya zaman sekaligus memberi kekuatan untuk menghadapinya. Dengan demikian, pendidikan bukan lagi menjadi lembaga yang membuat akal kita menyerah dan patuh pada keputusan-keputusan orang lain. Bila ini dijalankan dengan baik, itu berarti pendidikan telah melakukan proses humanisasi. Namun, sudahkah pendidikan membuat kita menjadi manusia merdeka?

[Kembali]

Selasa, 29 Juli 2008

Miopi Kebijakan Pendidikan

Oleh Doni Kosoema A
Dikutip dari Harian KOMPAS, Selasa, 29 Juli 2008

Mengusulkan kebijakan pendidikan tanpa mendasarkan diri pada kenyataan di lapangan hanya akan menghasilkan reformasi tambal sulam. Miopi kebijakan pendidikan itulah virus yang sedang menyerang dunia pendidikan kita.
Miopi kebijakan pendidikan merupakan keadaan di mana perubahan dalam pendidikan (educational change) dilakukan hanya demi kepentingan sesaat, memenuhi keinginan jangka pendek, mengejar hasil yang bisa langsung dilihat, tetapi mengorbankan kinerja dunia pendidikan dalam jangka panjang. Kekacauan proses sertifikasi, terkatung-katungnya nasib guru yang lolos portofolio, gelegak membalikkan perbandingan SMA dan SMK menjadi 30:70, dan terakhir, buku elektronik kian menunjukkan bahwa pembuat kebijakan pendidikan tidak mampu melihat realitas pendidikan di lapangan.

Tiga miopi
Miopi pertama adalah sertifikasi guru. Tertunda-tundanya pembayaran uang pendapatan guru yang telah lolos sertifikasi menunjukkan mental kebijakan otoritarian dalam meningkatkan kinerja dan martabat guru. Otoritarianisme pendidikan terjadi saat pemerintah mempersyaratkan kesediaan guru untuk melengkapi sertifikasi secara cepat, sesuai syarat, namun ketika guru menagih hak-haknya pemerintah tidak sigap. Sebelum membayar utangnya kepada guru, pemerintah tidak memiliki klaim telah melaksanakan peningkatan kualitas pendidikan.
Miopi kedua adalah kepentingan sesaat untuk membalik rasio SMA dan SMK. ”Kebijakan pendidikan menengah diarahkan pada meningkatnya proporsi SMK dibanding SMA,” kata Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo dalam pembukaan Lomba Keterampilan Siswa SMK Tingkat Nasional XVI di Makassar (24/6). Miopi kedua ini memiliki empat kesalahan berpikir secara fatal.
Pertama, sebuah keyakinan keliru bahwa Indonesia akan dapat bersaing di dunia global jika dapat mengubah SMA menjadi SMK. Mengubah proporsi sekolah menengah menjadi sekolah kejuruan hanya akan memosisikan daya-daya manusiawi (human resources) Indonesia pada hierarki paling bawah dalam dunia industri global. Padahal, agar dapat bersaing, yang dibutuhkan adalah akses setiap siswa pada pendidikan tinggi dan akademi teknik/politeknik yang murah dan terjangkau.
Kedua, mengubah rasio SMK menjadi lebih besar dibanding SMA kian menegaskan self-fulfilling prophecy bagi anak-anak orang miskin bahwa mobilitas sosial tidak akan dapat mereka miliki. Kebijakan ini hanya akan menunjukkan, anak-anak orang miskin dilarang mengenyam pendidikan lebih tinggi, cukup sekolah sampai SMK, lalu bekerja. Pendekatan seperti ini melanggar keadilan sosial sebab membiarkan orang miskin agar tetap miskin dan tidak pernah dapat mengubah nasib mereka.
Ketiga, hubungan antara keterampilan yang diperoleh melalui sekolah kejuruan dan terpenuhinya kebutuhan kerja yang diandaikan begitu saja merupakan pandangan naif yang tidak mendasarkan diri pada realitas lapangan. Terserapnya tenaga kerja itu tergantung ketersediaan kesempatan kerja. Yang dibutuhkan pemerintah adalah menciptakan lapangan kerja, bukan mengubah SMA menjadi SMK.
Keempat, UN SMK yang sebagian besar disamakan dengan SMA menunjukkan, pengambil kebijakan pendidikan tidak bisa membedakan SMA dan SMK dan apa yang menjadi kekhususan keduanya.
Miopi ketiga adalah buku elektronik. Buku elektronik itu ada di internet ketika pembuat kebijakan memasangnya di sana. Tentu, fakta ini benar. Namun, miopi terjadi ketika mereka berpikir, apa yang mereka lihat juga dilihat para guru, siswa, dan orangtua. Ide bahwa buku elektronik mudah diunduh juga perlu dipertanyakan. Apalagi, argumentasi bahwa harga buku menjadi lebih murah jika pemerintah membeli hak cipta dan menentukan harga eceran tertinggi. Semua itu retorika kosong yang tidak ada faktanya di lapangan. Buku tetap akan mahal, hanya sekolah bermutu dengan fasilitas lengkap dapat mengakses buku elektronik. Ironisnya, sekolah yang bisa mengakses buku elektronik justru tidak memakainya sebagai buku teks. Semakin lengkaplah absurditas kebijakan buku elektronik ini.

Membuka mata dan hati
Yang dibutuhkan pendidikan kita bukan program pendidikan bombastis yang menawarkan harapan semu, seperti sertifikasi, peningkatan rasio SMK-SMA, atau buku elektronik. Pemerintah perlu membuka mata atas realitas lapangan di mana siswa dan orangtua sering masih menjadi langganan pemerasan pihak-pihak sekolah dengan bermacam-macam dalih.
Pemerintah seharusnya melindungi dan membantu orang miskin yang anak-anaknya kesulitan bersekolah agar tidak terpinggirkan karena biaya pendidikan yang kian tak terjangkau. Menyediakan buku pelajaran gratis bagi sekolah yang membutuhkan akan lebih efektif dibanding pemborosan uang negara dengan membeli hak cipta yang justru tidak berguna.
Lebih dari itu, pemerintah perlu membuka hati yang bervisi keadilan sosial, di mana kebijakan pendidikan seharusnya melindungi hak-hak mereka yang kurang beruntung di masyarakat, bukan membuat kebijakan yang menguntungkan kelompok mapan, yang tidak menggunakan layanan pendidikan. Membuat kebijakan pendidikan bervisi keadilan sosial merupakan salah satu cara menyembuhkan miopi yang menjangkiti pendidikan nasional.
Doni Koesoema A
Mahasiswa Pascasarjana Boston College Lynch School of Education, Boston