Sabtu, 23 Agustus 2008

Dilema Penganggur Terdidik

TAJUK RENCANA
Diunduh dari Harian KOMPAS, Sabtu, 23 Agustus 2008

Sebanyak 4,5 juta atau separuh lebih penganggur terbuka di Indonesia adalah penganggur terdidik. Demikian isi headline surat kabar ini, Jumat kemarin.

Fenomena pengangguran terdidik sebenarnya bukan baru-baru ini saja terjadi. Karakteristik sektor ketenagakerjaan kita selama ini ditandai oleh tingginya angka pengangguran (jauh di atas rata-rata negara lain), tingginya proporsi penganggur muda (15-24 tahun) dan terus meningkatnya proporsi penganggur terdidik.

Yang memprihatinkan, selain besarannya itu sendiri (50,3 persen dari total penganggur), proporsi penganggur terdidik terus meningkat dramatis, dari 17 persen (1994) menjadi 26 persen (2004) dan kini 50,3 persen.

Di satu sisi, ini mencerminkan membaiknya tingkat pendidikan penduduk usia kerja di Indonesia (kemungkinan sebagai akibat suksesnya program wajib belajar).

Namun, di sisi lain, tingginya penganggur intelektual menunjukkan ada sesuatu yang salah. Kondisi ini juga berpotensi memunculkan keresahan sosial jika tak ditangani dengan baik. Selain rendahnya kemampuan perekonomian menyediakan lapangan kerja dan kakunya pasar kerja, tingginya penganggur terdidik juga menunjukkan ada kegagalan dalam sistem pendidikan kita dalam mencetak tenaga kerja yang siap kerja.

Terjadi ketidaksinkronan antara SDM yang dihasilkan dan kebutuhan industri atau sektor-sektor dalam ekonomi. Mismatch ini terjadi karena selama ini keduanya jalan sendiri-sendiri. Di antara institusi pendidikan sendiri tak ada standar kompetensi yang jelas.

Kegagalan pendidikan juga bisa dilihat dari lemahnya kemampuan mencetak wirausaha. Dari sekitar 350.000 sarjana yang dihasilkan oleh perguruan tinggi di seluruh Indonesia setiap tahunnya, hanya sekitar 5 persen yang mampu menciptakan lapangan kerja sendiri.

Kurikulum pendidikan nasional, kultur budaya kita, dan kebijakan pemerintah tak mendorong tumbuh suburnya jiwa entrepreneurship. Padahal, di sini kunci kemajuan suatu bangsa. Salah satu penyebab ketertinggalan kita dari negara-negara tetangga antara lain karena rendahnya entrepreneurship ini.

Kita memahami, pemerintah dihadapkan pada dilema. Kendati sebagian besar penganggur adalah terdidik, mayoritas tenaga kerja tetap saja berpendidikan rendah. Dominannya tenaga tidak terampil di negara surplus tenaga kerja seperti kita menuntut pengembangan industri ke arah padat karya.

Di sisi lain, tenaga kerja terdidik umumnya hanya mau bekerja di kantor atau sektor modern di perkotaan, sementara daya serap sektor ini rendah, atau kecakapan pekerja terdidik sering tak sesuai dengan yang dibutuhkan.

Tantangan ke depan adalah bagaimana mengakomodasi dua kepentingan (pekerja terdidik dan tak terdidik), dan menyinkronkan pendidikan dengan kebutuhan industri. Tak mungkin dibebankan pada pemerintah saja. Peran perguruan tinggi dan swasta sangat penting di sini. Perlu kebijakan yang integral, tidak sepotong-sepotong.


[ Kembali ]

Perbaiki Sistem Pendidikan Nasional

Ketenagakerjaan
Diunduh dari Harian KOMPAS, Sabtu, 23 Agustus 2008.

Jakarta, Kompas - Pemerintah harus secepatnya mengubah sistem pendidikan nasional ke sistem yang lebih mengutamakan kompetensi dan keahlian peserta didik. Sistem yang berjalan sekarang dinilai berkontribusi besar terhadap tingginya tingkat pengangguran terbuka, yang separuhnya minimal lulusan sekolah menengah atas.

Sistem pendidikan selama ini cenderung berorientasi menghasilkan lulusan yang memiliki nilai akademis sesuai norma yang ditetapkan. Bakat dan minat peserta didik terhadap sesuatu hal kurang mendapat perhatian.

Wakil Ketua Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) Sumarna F Abdurrahman di Jakarta, Jumat (22/8), mengatakan, sistem pendidikan berbasis kompetensi yang sudah mulai berjalan saat ini belum optimal. Pemerintah masih lebih mengedepankan prestasi akademis dari sisi lembaga pendidikan, belum dari sisi penyerapan pasar kerja.

”Modul pendidikan yang dipakai saat ini masih banyak yang belum sesuai dengan kebutuhan pasar kerja. Seharusnya, standar kompetensi pendidikan dibangun berdasarkan kebutuhan pasar kerja,” kata Sumarna.

Sebanyak 5.660.036 orang termasuk dalam kelompok pengangguran terbuka berusia 15-24 tahun. Walau secara umum tingkat pengangguran terbuka nasional turun, tingkat pengangguran terdidik terus meningkat.

Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia Djimanto mengungkapkan, saat menguji 100 lulusan SMA mengikuti pelatihan perbengkelan, hanya 10 anak yang layak dilatih. Selebihnya tidak lolos. ”Seharusnya program pendidikan formal difokuskan pada jalur kejuruan, mulai sekolah menengah kejuruan sampai tingkat diploma kejuruan,” ujarnya.

Presiden Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) Rekson Silaban mengatakan, semua pihak harus mewaspadai peningkatan jumlah penganggur terdidik. Sebagai orang yang memiliki kemampuan intelektual tinggi, tingginya penganggur terdidik bisa memicu persoalan sosial yang sangat besar.

Tekan angka pengangguran

Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas Fasli Jalal mengungkapkan, untuk menekan angka pengangguran, Depdiknas mengembangkan dan merevitalisasi pendidikan politeknik. Kemampuan lulusan berwirausaha juga semakin diperhatikan semenjak belajar di politeknik.

Menurut Fasli, pihaknya tengah bekerja sama dengan 14 kabupaten/kota dan satu provinsi untuk mengembangkan politeknik, di mana pemerintah daerah itu sudah mengembangkan analisis kebutuhan dan pihak industri sepakat bahwa dibutuhkan lulusan di bidang-bidang tertentu. Sudah ada gambaran mengenai daya serap lulusan politeknik tersebut. (ham/ine)

[ Kembali ]


Kamis, 21 Agustus 2008

Ambruknya PTS Kita

Diunduh dari Harian KOMPAS, Kamis, 21 Agustus 2008.

Agus Suwignyo

Di tengah gencarnya ikhtiar menjawab tantangan global, banyak perguruan tinggi swasta di Indonesia yang nyaris ambruk.

Berita Kompas dua pekan lalu menyebutkan, hanya 50 persen dari 2.756 PTS di Indonesia saat ini yang dinyatakan ”sehat” dalam hal jumlah mahasiswa, rasio dosen- mahasiswa, dan ketersediaan fasilitas. Di Jawa Tengah 174 dari 323 PTS terancam ditutup karena kurang diminati mahasiswa. Di Yogyakarta jumlah mahasiswa baru PTS cenderung turun. Situasi ini sangat memprihatinkan!

Ambruknya sejumlah PTS merupakan efek privatisasi dan deregulasi pendidikan. Di sisi lain, kondisi ini mencerminkan mutu manajemen pendidikan tinggi kita, khususnya PTS, amat buruk.

Seberapa siap PT(S) di Indonesia menghadapi persaingan yang semakin terbuka? Pantaskah pemerintah berdiam diri menyaksikan ratusan PTS sekarat?

Melalui pergeseran skema pembiayaan, pemerintah mengurangi subsidi. Inilah yang membuat perguruan tinggi negeri (PTN) harus mencari biaya sendiri. Bersamaan dengan itu, syarat pendirian program relatif tidak diperketat. Tak peduli sudah berapa jumlah suatu program studi pada PTS di sebuah wilayah, PTN ”bebas” mendirikan program yang sama dan menentukan benchmark akuntabilitasnya masing-masing.

Di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Semarang, dan Malang, universitas bekas IKIP membuka berbagai program studi yang sudah dimiliki universitas di kota-kota tersebut dan nyaris tanpa perbedaan kekhasan program. Sementara itu, universitas-universitas badan hukum milik negara (BHMN) memperluas seleksi mahasiswa melalui aneka jenjang pendidikan.

Akibatnya, peluang PTS memperoleh mahasiswa susut karena pasar calon mahasiswa relatif tetap. Namun, di berbagai jenjang jumlah program studi yang sama semakin besar. Dalam konteks ini, PTS yang (nyaris) ambruk adalah korban langsung deregulasi dan persaingan memperebutkan calon mahasiswa.

Karena itu, pemerintah harus segera mengendalikan ”ekspansi” PT BHMN dan universitas-universitas bekas IKIP. Selain itu, pemerintah sebaiknya mengambil alih PTS yang sekarat! Diperlukan terobosan kebijakan untuk merevitalisasi PTS, misalnya melalui program bantuan likuidasi PTS.

Revitalisasi PTS perlu diintegrasikan dengan rencana restrukturisasi SMA dan SMK. Di banyak negara maju, jumlah universitas dibatasi dan seleksi mahasiswa diatur berdasarkan jenis sekolah menengah.

Jika di Indonesia lulusan SMK hanya dapat melanjutkan studi ke akademi ataupun politeknik, maka nasib lembaga-lembaga perguruan tinggi vokasional tersebut akan terselamatkan. Selain itu, mutu kevokasionalan lulusan dipastikan meningkat karena kesinambungan pendidikan kejuruan tingkat menengah dan perguruan tinggi.

Pada sisi lain, jika universitas hanya menerima lulusan SMA dan tidak menyelenggarakan pendidikan vokasional, peluang mengembangkan riset bermutu di universitas semakin besar.

Rangkaian panjang

Di luar itu harus disadari bahwa privatisasi yang kita saksikan saat ini merupakan rangkaian panjang desakan global dan tuntutan negara berkembang pascakolonial.

Berawal dari kesadaran pentingnya memperkuat semangat kebangsaan, pengelolaan perguruan tinggi dirasakan perlu dilakukan secara mandiri dan berdaya saing. Maka, belum satu dekade Proklamasi Kemerdekaan, gagasan privatisasi telah dibabarkan melalui sebuah RUU Badan Hukum Pendidikan (BHP) 1953. Selama puluhan tahun berikutnya, gagasan pembentukan BHP raib akibat kuatnya politik ideologi penguasa.

Namun, tahun 1990-an karena skema pinjaman lembaga-lembaga donor, pemerintah meratifikasi The General Agreements on Trade in Services (GATS) tentang layanan pendidikan. Dengan itu, pemerintah menghidupkan kembali gagasan privatisasi.

Tahun 2000 privatisasi ”diujicobakan” melalui pemberian status BHMN kepada empat PTN, yang disusul dengan PTN lain. Dalam rentang 1990-2000-an pula IKIP ramai-ramai diubah menjadi universitas.

Tidak jelas apakah pemerintah sempat memikirkan dampak kebijakan-kebijakan tersebut bagi PTS. Yang jelas, privatisasi justru akan dimasifkan melalui UU BHP yang rancangannya sedang diolah DPR.

Jika UU BHP diberlakukan, PTS dipastikan mengalami guncangan lebih dahsyat daripada sekarang. Kendati demikian, upaya membendung gelombang pasar bebas pendidikan merupakan utopia karena ketergantungan pada GATS-WTO dan tahap-tahap privatisasi yang telah dilalui dunia pendidikan Indonesia.

Selain privatisasi, ada dua penyebab ambruknya PTS kita. Pertama, krisis ekonomi berkepanjangan melemahkan daya beli masyarakat atas layanan perguruan tinggi dan daya tahan finansial yayasan- yayasan penyelenggara PTS.

Kedua, sikap latah pengelola PTS. Misalnya, setelah wabah ”universitas riset”, akhir-akhir ini sejumlah pengelola PT(S) mencanangkan institusinya menjadi universitas kepengusahaan. Namun, apa maksudnya dan mengapa memilih visi tersebut tidak dikaji mendalam.

Agus Suwignyo Pedagog FIB UGM, Menulis Pendidikan Tinggi dan Goncangan Perubahan (2008), Sedang Meneliti Sejarah Pendidikan Guru

[ Kembali ]

Kamis, 14 Agustus 2008

Arah Pengembangan SDM

TAJUK RENCANA
Diunduh dari Harian KOMPAS, Sabtu, 17 Mei 2008.

Ketika reformasi masih sebatas talking democracy dan bubble democracy, unjuk rasa rencana kenaikan harga BBM merupakan antiklimaks 10 tahun reformasi.

Ketika reformasi politik mengalami degradasi dengan hiruk-pikuk menjelang Pemilu 2009 dan pilkada-pilkada, pada saat yang sama terjadi degradasi kualitas kehidupan masyarakat.

Reformasi 10 tahun jalan di tempat. Dari sisi politik-ekonomi dan sosial tidak ada transformasi. Dari sisi peningkatan kualitas hidup, reformasi kehilangan makna. Hak asasi manusia yang seharusnya tidak diredusir pada hak-hak politik, tetapi tercukupinya kebutuhan hidup, mengalami kemunduran. Antiklimaks!

Ukuran kemiskinan yang didasarkan atas kalori asupan menurut Prof Sayogyo memperoleh pembenaran. Tingkat konsumsi per kapita rakyat Indonesia untuk daging, misalnya, 7,1 kg/kapita/tahun, sementara Malaysia 46,8 kg dan Filipina 24,96 kg. Ketersediaan pangan seperti beras yang diberitakan sudah surplus perlu ditelisik betul aspek pemerataan dan akurasi datanya. Indonesia bukan hanya Pulau Jawa.

Anak-anak yang lahir 10 tahun lalu—kini duduk di kelas III atau IV sekolah dasar—yang sehari-hari disuap dengan tontonan televisi dan ancaman atap sekolah runtuh, sebenarnya representasi dari generasi masa depan. Mereka terbentuk oleh ingar-bingar perpolitikan, eforia demokrasi bablasan, sebaliknya pemerintah senantiasa mati langkah seolah-olah kuldesak.

Sumber daya manusia—diintroduksi dari istilah manajemen untuk makna manusia—telanjur disempitkan dalam konteks ekonomi.

Kalau praksis pendidikan berjalan sesuai prinsip ”pemerdekaan” menurut Ki Hadjar Dewatara atau ”pemanusiaan” menurut Drijarkara, konsep SDM justru mempertajam praksis pendidikan. Akan tetapi ketika SDM dijadikan ukuran tunggal keberhasilan, ditakar lewat ujian nasional misalnya, makna luhur pendidikan tereduksi.

Indonesia mengingkari jati diri sebagai negara agraris, kata Prof Sediono Tjondronegoro. Serba tanggung! Negara agraris menjadi pengimpor produk pertanian. Krisis pangan di ambang mata, sementara sebagian warga lain hidup berkelimpahan.

Praksis pengembangan SDM, termasuk pula praksis pendidikan—bidang yang selalu jadi pusat perhatian dan pengunci segala keterbelakangan—perlu direformasi. Praksis pendidikan harus dibebaskan dari kepentingan politik praktis, dari tujuan jangka pendek, dari ingar-bingar demokrasi versi reformasi Indonesia.

Politisasi pendidikan perlu diarahkan pada kebijakan yang membebaskan, yakni pemerdekaan dan pemanusiaan dalam arti tidak demi kepentingan politik tertentu sehingga lebih terbuka.

Ranah inilah yang relatif paling mudah ditinjau ulang, apalagi strategis untuk kepentingan tidak hanya sekarang, tetapi terutama nanti.


[Kembali]


Senin, 04 Agustus 2008

Pendidikan dan Pemerdekaan

100 Tahun Kebangkitan Nasional
Oleh Tonny D Widiastono
Dikutip dari Harian KOMPAS, Senin, 4 Agustus 2008, halaman 01.

Ketika mendirikan Taman Siswa pada 3 Juli 1922, Ki Hadjar Dewantara sesungguhnya hanya ingin menumbuhkan kesadaran bahwa bangsa ini memiliki martabat dan harapan untuk menjadi manusia merdeka. Hasilnya, kesadaran sebagai bangsa yang bermartabat dan berkeinginan untuk merdeka pun tumbuh.
Ki Hadjar meyakini, penyadaran melalui lembaga pendidikan adalah usaha yang manjur.
Upaya itu pula yang digaungkan kembali oleh Paulo Freire, pendidik multikultural melalui karyanya Pendidikan sebagai Praktek Pembebasan, tahun 1984. Meski sudah diawali oleh Ki Hadjar Dewantara 86 tahun lalu dan digaungkan kembali oleh Freire lebih dari 25 tahun lalu, ternyata upaya penyadaran dan pemerdekaan melalui pendidikan justru kian jauh dari kenyataan.
Berbagai masalah yang melingkupi dunia pendidikan kita, alih-alih bisa memerdekakan peserta didik, yang terjadi justru membelenggu atau memenjarakan siswa. Selama pendidikan yang seharusnya bermakna luas itu hanya dipahami sebagai proses formal, sekadar proses alih pengetahuan, selama itu pula berbagai hal yang seharusnya menjadi penyadaran akan terus terganggu pelaksanaannya.
Masalah sertifikasi guru, keinginan membalik rasio pendidikan kejuruan dan SMA, dan masalah buku yang bisa diunduh dari internet hanya sekadar contoh dari berbagai persoalan pendidikan Indonesia yang memang membelenggu. Belum lagi biaya pendidikan yang terasa kian mahal dan hampir tak terjangkau rakyat miskin. Pada jenjang pendidikan tinggi, sejumlah perguruan tinggi negeri berubah menjadi badan hukum milik negara. Perubahan ini mendorong lembaga-lembaga pendidikan, yang seharusnya melahirkan manusia-manusia terpelajar, justru terbelenggu dengan upaya mencari uang sekaligus menjauhkan diri dari masyarakat yang seharusnya dilayani. Maka, impian untuk mendapatkan pendidikan yang murah dan baik untuk sementara dipendam dulu.
Tidak hanya itu. Yang menyedihkan, cara mendidik dengan memberikan berbagai macam informasi membuat peserta didik tak lebih dari kantong besar yang harus diisi penuh, tak peduli apakah itu berguna atau tidak. Dalam istilah Freire, itulah ”pendidikan berkonsep menabung”. Peserta didik tak pernah diajak berpikir kritis, tak didorong untuk memecahkan masalah, dan tak dilatih untuk berani mengungkapkan pendapat secara wajar.
Harapan masyarakat
Meskipun belum menjalankan tugas dan fungsi sebagaimana mestinya, masyarakat tetap menaruh harapan besar terhadap lembaga pendidikan. Banyak orangtua berpendapat, anak- anak harus bersekolah agar nasib mereka menjadi lebih baik daripada yang dialami orangtua mereka. Pendidikan lalu diyakini sebagai lembaga yang diharapkan mampu mengubah nasib.
Oleh karena itu, tidak mengherankan bila banyak orangtua berupaya menyekolahkan anaknya setinggi mungkin. Apa pun yang dimiliki dipertaruhkan agar anak-anaknya bisa bersekolah. Banyak petani di pedesaan harus membanting tulang agar bisa menyekolahkan anaknya. Bahkan, dulu sering terjadi, petani terpaksa menggadaikan sawah gantungan hidup keluarga agar anak-anaknya bisa bersekolah. Tak hanya itu, di kawasan Bantul (Daerah Istimewa Yogyakarta) dulu pernah terjadi, petani terpaksa membawa sapi atau kerbaunya ke sekolah. Selama ”sekolah”, sapi atau kerbau itu istirahat dari tugas membajak sawah.
Di perkotaan, pegadaian merupakan dewa penolong. Untuk sementara, pegadaian menjadi ”sekolah” bagi sertifikat rumah, perhiasan, motor, mobil, atau apa pun yang dimiliki keluarga agar anak-anak benar-benar bisa bersekolah. Pendidikan benar- benar dianggap sebagai tempat yang aman untuk memperbaiki nasib dan membangun masa depan. Namun, benarkah pendidikan memberikan apa yang diharapkan masyarakat?
Kita semua paham, harapan tinggal harapan. Kenyataannya, pendidikan belum mampu memenuhi harapan masyarakat, bahkan untuk hal-hal yang paling dasar sekalipun, seperti rasa aman. Kita sering mendengar, anak-anak justru mengalami kekerasan ketika berada di sekolah. Komisi Nasional Perlindungan Anak mencatat, selama tahun 2007 kekerasan terhadap anak meningkat 300 persen dari tahun sebelumnya, dari 4.398.625 kasus menjadi 13.447.921 kasus tahun 2008 (”Sekolah Bukan Tempat Aman bagi Anak”, Kompas, 23/7/2008).
Melihat kenyataan ini, kian sulit untuk mengatakan bahwa pendidikan telah melakukan tugasnya sebagai wahana penyadaran diri sekaligus tempat membangun masa depan yang aman.

Pendidikan dan masifikasi
Paulo Freire menyatakan, pembangunan ekonomi merupakan hal esensial guna menunjang demokrasi. Pembangunan sendiri harus bersifat otonom dan nasional. Para pendidik diharapkan ikut berpartisipasi dan andil dalam melahirkan pendidikan kritis. Dari pendidikan kritis ini diharapkan mampu membantu terbentuknya sikap-sikap kritis. Dari hal inilah diharapkan lahir manusia yang mampu mengembangkan kemampuannya untuk melihat aneka tantangan dari zamannya.
Oleh karena itu, situasi menuntut agar pendidikan mampu melahirkan manusia yang berani membicarakan berbagai masalah lingkungan ikut menangani lingkungannya.
Pendidikan juga diharapkan mampu mengingatkan manusia dari bahaya zaman sekaligus memberi kekuatan untuk menghadapinya. Dengan demikian, pendidikan bukan lagi menjadi lembaga yang membuat akal kita menyerah dan patuh pada keputusan-keputusan orang lain. Bila ini dijalankan dengan baik, itu berarti pendidikan telah melakukan proses humanisasi. Namun, sudahkah pendidikan membuat kita menjadi manusia merdeka?

[Kembali]