Agus Suwignyo
Di tengah gencarnya ikhtiar menjawab tantangan global, banyak perguruan tinggi swasta di Indonesia yang nyaris ambruk.
Berita Kompas dua pekan lalu menyebutkan, hanya 50 persen dari 2.756 PTS di Indonesia saat ini yang dinyatakan ”sehat” dalam hal jumlah mahasiswa, rasio dosen- mahasiswa, dan ketersediaan fasilitas. Di Jawa Tengah 174 dari 323 PTS terancam ditutup karena kurang diminati mahasiswa. Di Yogyakarta jumlah mahasiswa baru PTS cenderung turun. Situasi ini sangat memprihatinkan!
Ambruknya sejumlah PTS merupakan efek privatisasi dan deregulasi pendidikan. Di sisi lain, kondisi ini mencerminkan mutu manajemen pendidikan tinggi kita, khususnya PTS, amat buruk.
Seberapa siap PT(S) di Indonesia menghadapi persaingan yang semakin terbuka? Pantaskah pemerintah berdiam diri menyaksikan ratusan PTS sekarat?
Melalui pergeseran skema pembiayaan, pemerintah mengurangi subsidi. Inilah yang membuat perguruan tinggi negeri (PTN) harus mencari biaya sendiri. Bersamaan dengan itu, syarat pendirian program relatif tidak diperketat. Tak peduli sudah berapa jumlah suatu program studi pada PTS di sebuah wilayah, PTN ”bebas” mendirikan program yang sama dan menentukan benchmark akuntabilitasnya masing-masing.
Di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Semarang, dan Malang, universitas bekas IKIP membuka berbagai program studi yang sudah dimiliki universitas di kota-kota tersebut dan nyaris tanpa perbedaan kekhasan program. Sementara itu, universitas-universitas badan hukum milik negara (BHMN) memperluas seleksi mahasiswa melalui aneka jenjang pendidikan.
Akibatnya, peluang PTS memperoleh mahasiswa susut karena pasar calon mahasiswa relatif tetap. Namun, di berbagai jenjang jumlah program studi yang sama semakin besar. Dalam konteks ini, PTS yang (nyaris) ambruk adalah korban langsung deregulasi dan persaingan memperebutkan calon mahasiswa.
Karena itu, pemerintah harus segera mengendalikan ”ekspansi” PT BHMN dan universitas-universitas bekas IKIP. Selain itu, pemerintah sebaiknya mengambil alih PTS yang sekarat! Diperlukan terobosan kebijakan untuk merevitalisasi PTS, misalnya melalui program bantuan likuidasi PTS.
Revitalisasi PTS perlu diintegrasikan dengan rencana restrukturisasi SMA dan SMK. Di banyak negara maju, jumlah universitas dibatasi dan seleksi mahasiswa diatur berdasarkan jenis sekolah menengah.
Jika di Indonesia lulusan SMK hanya dapat melanjutkan studi ke akademi ataupun politeknik, maka nasib lembaga-lembaga perguruan tinggi vokasional tersebut akan terselamatkan. Selain itu, mutu kevokasionalan lulusan dipastikan meningkat karena kesinambungan pendidikan kejuruan tingkat menengah dan perguruan tinggi.
Pada sisi lain, jika universitas hanya menerima lulusan SMA dan tidak menyelenggarakan pendidikan vokasional, peluang mengembangkan riset bermutu di universitas semakin besar.
Rangkaian panjang
Di luar itu harus disadari bahwa privatisasi yang kita saksikan saat ini merupakan rangkaian panjang desakan global dan tuntutan negara berkembang pascakolonial.
Berawal dari kesadaran pentingnya memperkuat semangat kebangsaan, pengelolaan perguruan tinggi dirasakan perlu dilakukan secara mandiri dan berdaya saing. Maka, belum satu dekade Proklamasi Kemerdekaan, gagasan privatisasi telah dibabarkan melalui sebuah RUU Badan Hukum Pendidikan (BHP) 1953. Selama puluhan tahun berikutnya, gagasan pembentukan BHP raib akibat kuatnya politik ideologi penguasa.
Namun, tahun 1990-an karena skema pinjaman lembaga-lembaga donor, pemerintah meratifikasi The General Agreements on Trade in Services (GATS) tentang layanan pendidikan. Dengan itu, pemerintah menghidupkan kembali gagasan privatisasi.
Tahun 2000 privatisasi ”diujicobakan” melalui pemberian status BHMN kepada empat PTN, yang disusul dengan PTN lain. Dalam rentang 1990-2000-an pula IKIP ramai-ramai diubah menjadi universitas.
Tidak jelas apakah pemerintah sempat memikirkan dampak kebijakan-kebijakan tersebut bagi PTS. Yang jelas, privatisasi justru akan dimasifkan melalui UU BHP yang rancangannya sedang diolah DPR.
Jika UU BHP diberlakukan, PTS dipastikan mengalami guncangan lebih dahsyat daripada sekarang. Kendati demikian, upaya membendung gelombang pasar bebas pendidikan merupakan utopia karena ketergantungan pada GATS-WTO dan tahap-tahap privatisasi yang telah dilalui dunia pendidikan Indonesia.
Selain privatisasi, ada dua penyebab ambruknya PTS kita. Pertama, krisis ekonomi berkepanjangan melemahkan daya beli masyarakat atas layanan perguruan tinggi dan daya tahan finansial yayasan- yayasan penyelenggara PTS.
Kedua, sikap latah pengelola PTS. Misalnya, setelah wabah ”universitas riset”, akhir-akhir ini sejumlah pengelola PT(S) mencanangkan institusinya menjadi universitas kepengusahaan. Namun, apa maksudnya dan mengapa memilih visi tersebut tidak dikaji mendalam.
Agus Suwignyo Pedagog FIB UGM, Menulis Pendidikan Tinggi dan Goncangan Perubahan (2008), Sedang Meneliti Sejarah Pendidikan Guru
[ Kembali ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar