Kamis, 14 Agustus 2008

Arah Pengembangan SDM

TAJUK RENCANA
Diunduh dari Harian KOMPAS, Sabtu, 17 Mei 2008.

Ketika reformasi masih sebatas talking democracy dan bubble democracy, unjuk rasa rencana kenaikan harga BBM merupakan antiklimaks 10 tahun reformasi.

Ketika reformasi politik mengalami degradasi dengan hiruk-pikuk menjelang Pemilu 2009 dan pilkada-pilkada, pada saat yang sama terjadi degradasi kualitas kehidupan masyarakat.

Reformasi 10 tahun jalan di tempat. Dari sisi politik-ekonomi dan sosial tidak ada transformasi. Dari sisi peningkatan kualitas hidup, reformasi kehilangan makna. Hak asasi manusia yang seharusnya tidak diredusir pada hak-hak politik, tetapi tercukupinya kebutuhan hidup, mengalami kemunduran. Antiklimaks!

Ukuran kemiskinan yang didasarkan atas kalori asupan menurut Prof Sayogyo memperoleh pembenaran. Tingkat konsumsi per kapita rakyat Indonesia untuk daging, misalnya, 7,1 kg/kapita/tahun, sementara Malaysia 46,8 kg dan Filipina 24,96 kg. Ketersediaan pangan seperti beras yang diberitakan sudah surplus perlu ditelisik betul aspek pemerataan dan akurasi datanya. Indonesia bukan hanya Pulau Jawa.

Anak-anak yang lahir 10 tahun lalu—kini duduk di kelas III atau IV sekolah dasar—yang sehari-hari disuap dengan tontonan televisi dan ancaman atap sekolah runtuh, sebenarnya representasi dari generasi masa depan. Mereka terbentuk oleh ingar-bingar perpolitikan, eforia demokrasi bablasan, sebaliknya pemerintah senantiasa mati langkah seolah-olah kuldesak.

Sumber daya manusia—diintroduksi dari istilah manajemen untuk makna manusia—telanjur disempitkan dalam konteks ekonomi.

Kalau praksis pendidikan berjalan sesuai prinsip ”pemerdekaan” menurut Ki Hadjar Dewatara atau ”pemanusiaan” menurut Drijarkara, konsep SDM justru mempertajam praksis pendidikan. Akan tetapi ketika SDM dijadikan ukuran tunggal keberhasilan, ditakar lewat ujian nasional misalnya, makna luhur pendidikan tereduksi.

Indonesia mengingkari jati diri sebagai negara agraris, kata Prof Sediono Tjondronegoro. Serba tanggung! Negara agraris menjadi pengimpor produk pertanian. Krisis pangan di ambang mata, sementara sebagian warga lain hidup berkelimpahan.

Praksis pengembangan SDM, termasuk pula praksis pendidikan—bidang yang selalu jadi pusat perhatian dan pengunci segala keterbelakangan—perlu direformasi. Praksis pendidikan harus dibebaskan dari kepentingan politik praktis, dari tujuan jangka pendek, dari ingar-bingar demokrasi versi reformasi Indonesia.

Politisasi pendidikan perlu diarahkan pada kebijakan yang membebaskan, yakni pemerdekaan dan pemanusiaan dalam arti tidak demi kepentingan politik tertentu sehingga lebih terbuka.

Ranah inilah yang relatif paling mudah ditinjau ulang, apalagi strategis untuk kepentingan tidak hanya sekarang, tetapi terutama nanti.


[Kembali]


Tidak ada komentar: