Sebanyak 4,5 juta atau separuh lebih penganggur terbuka di Indonesia adalah penganggur terdidik. Demikian isi headline surat kabar ini, Jumat kemarin.
Fenomena pengangguran terdidik sebenarnya bukan baru-baru ini saja terjadi. Karakteristik sektor ketenagakerjaan kita selama ini ditandai oleh tingginya angka pengangguran (jauh di atas rata-rata negara lain), tingginya proporsi penganggur muda (15-24 tahun) dan terus meningkatnya proporsi penganggur terdidik.
Yang memprihatinkan, selain besarannya itu sendiri (50,3 persen dari total penganggur), proporsi penganggur terdidik terus meningkat dramatis, dari 17 persen (1994) menjadi 26 persen (2004) dan kini 50,3 persen.
Di satu sisi, ini mencerminkan membaiknya tingkat pendidikan penduduk usia kerja di Indonesia (kemungkinan sebagai akibat suksesnya program wajib belajar).
Namun, di sisi lain, tingginya penganggur intelektual menunjukkan ada sesuatu yang salah. Kondisi ini juga berpotensi memunculkan keresahan sosial jika tak ditangani dengan baik. Selain rendahnya kemampuan perekonomian menyediakan lapangan kerja dan kakunya pasar kerja, tingginya penganggur terdidik juga menunjukkan ada kegagalan dalam sistem pendidikan kita dalam mencetak tenaga kerja yang siap kerja.
Terjadi ketidaksinkronan antara SDM yang dihasilkan dan kebutuhan industri atau sektor-sektor dalam ekonomi. Mismatch ini terjadi karena selama ini keduanya jalan sendiri-sendiri. Di antara institusi pendidikan sendiri tak ada standar kompetensi yang jelas.
Kegagalan pendidikan juga bisa dilihat dari lemahnya kemampuan mencetak wirausaha. Dari sekitar 350.000 sarjana yang dihasilkan oleh perguruan tinggi di seluruh Indonesia setiap tahunnya, hanya sekitar 5 persen yang mampu menciptakan lapangan kerja sendiri.
Kurikulum pendidikan nasional, kultur budaya kita, dan kebijakan pemerintah tak mendorong tumbuh suburnya jiwa entrepreneurship. Padahal, di sini kunci kemajuan suatu bangsa. Salah satu penyebab ketertinggalan kita dari negara-negara tetangga antara lain karena rendahnya entrepreneurship ini.
Kita memahami, pemerintah dihadapkan pada dilema. Kendati sebagian besar penganggur adalah terdidik, mayoritas tenaga kerja tetap saja berpendidikan rendah. Dominannya tenaga tidak terampil di negara surplus tenaga kerja seperti kita menuntut pengembangan industri ke arah padat karya.
Di sisi lain, tenaga kerja terdidik umumnya hanya mau bekerja di kantor atau sektor modern di perkotaan, sementara daya serap sektor ini rendah, atau kecakapan pekerja terdidik sering tak sesuai dengan yang dibutuhkan.
Tantangan ke depan adalah bagaimana mengakomodasi dua kepentingan (pekerja terdidik dan tak terdidik), dan menyinkronkan pendidikan dengan kebutuhan industri. Tak mungkin dibebankan pada pemerintah saja. Peran perguruan tinggi dan swasta sangat penting di sini. Perlu kebijakan yang integral, tidak sepotong-sepotong.
[ Kembali ]